oleh: Ismoyo Sejati
“Jangan tanyakan tentang keyakinan mereka yang Shinto. Tetapi lihatlah bagaimana mereka mentradisikan nilai-nilai mulia dari agama lain yang tidak mereka anut. Bahkan boleh jadi, ajaran agama lain yang diadopsi dalam kehidupan masyarakat disini, tidak dilaksanakan oleh pemeluk agama itu sendiri” demikian penuturan pria sepuh yang telah tiga setengah tahun terakhir ini berbaur dengan masyarakat Jepang. Masa tiga tahun jabatannya sebagai Duta Besar telah usai, namun penggantinya belum ditunjuk hingga enam bulan setelahnya.
Anda tak akan menemukan puntung rokok di negeri ini, demikian lanjutnya. Bukan tak ada perokok disini, dan merokok juga bukan larangan di sini. Tetapi mereka hanya merokok untuk diri mereka sendiri. Mereka tak mengumbar asap kepada kalangan bukan perokok, dan mereka juga siap untuk mengantongi abu dan puntung rokok mereka. Mereka terlalu sayang untuk menjadikan Negara Jepang sebagai asbak terluas di Asia Timur.
Itu semua benar adanya. Pemerintah Jepang, di level pusat maupun distrik, tak terlalu banyak membuat aturan, tetapi kehidupan di Jepang jauh lebih tertib dibanding negara yang terlalu banyak membuat aturan. Itu dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang dilahirkan dengan disiplin tinggi. Mereka melaksanakan kebaikan bukan karena adanya aturan, tetapi karena itu baik tak hanya bagi diri mereka, namun juga bagi alam semesta.
Disiplin adalah jawaban mengapa hanya perekonomian Amerika Serikat yang lebih baik dari mereka. Negara yang hancur lebur pada Perang Dunia II tahun 1945 itu hanya perlu waktu kurang dari 20 tahun untuk bisa menggelar Olympiade Tokyo tahun 1964. Itu semua mereka lakukan setelah sukses menjadi host Asian Games 1958 dan selalu memenangkan Asian Games sejak yang pertama digelar di New Delhi tahun 1951. Lanjut baca lengkapnya dengan klik